Setiap kelebihan dan fasilitas
apapun yang diberikan Allah kepada makhluk-Nya merupakan nikmat yang tak
terhitung nilainya. Sebagaimana arti dari firman Allah “dan apabila kamu
menghitung nikmat Allah maka tidaklah kamu dapat menghitungnya”. Diantara
nikmat yang Allah berikan kepada manusia adalah mulut untuk berbicara. Dengan
mulut tersebut manusia dapat berbicara apa saja yang ia inginkan. Pertanyaannya
pernahkah kamu menghitung berapa huruf yang keluar dari mulutmu dalam hitungan
setengah jam ketika kamu sedang berbicara? Atau berapa kata atau berapa kalimat
yang keluar? Aku rasa sulit untuk dihitung, apalagi jika dalam sehari penuh
terlebih lagi dalam setahun atau bahkan selama kita hidup, menghitungnya
merupakan kemustahilan.
Sudah terbayang kan apa saja yang
keluar dari mulut kita. Tapi sadarkah kita pernah menyakiti saudara kita dengan
lisan yang tajam ini? Sadarkah kita pernah membantah orangtua dengan lisan ini?
Sadarkah kita pernah berbohong atau bersumpah palsu dengan lisan ini? Tentunya
kita sudah lupa karena terlalu banyak yang terucap dari lisan kita. Tapi
faktanya kita pernah mengucapkan kata-kata tersebut. Oleh karena itu seringkali
kita mendengar adanya dalil-dalil terkait lisan dan peringatan para ulama
ataupun para petua mengenai bahaya lisan (mulut). Darisanalah lahir ungkapan
‘mulutmu harimaumu’, mulut diumpamakan dengan harimau bukan karena persamaan
suaranya akan tetapi bahaya mulut (lisan) sama seperti bahaya harimau yakni
dapat membunuh.
Begitulah bahaya lisan
sampai-sampai ia mendapatkan posisi penting dalam Islam, ia dapat menjadi penyampai
kebenaran dan dapat juga menjadi sumber fitnah, tergantung pemilik lisan kemana
ia membawa lisannya berucap. Termasuk kalimat tentang ‘lidah tak bertulang’
yang dimaksudkan adalah lidah yang tidak memiliki tulang ini lebih berbahaya
daripada anggota badan lainnya yang bertulang.
Terkait perkara lisan ini Nabi
Muhammad Saw banyak berpesan kepada ummatnya agar memperhatikan masalah mulut
dengan lidahnya yang tak bertulang itu, diantara sabda-sabda beliau adalah
sebagai berikut, yang kurang lebih artinya “barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau diam”.
Berkata baik atau
diam daripada berkata buruk dikaitkan dengan keimanan kepada Allah dan hari
akhir, hal ini menunjukkan betapa pentingnya perkara menjaga lisan tersebut.
Karena berkata buruk sangat identik dengan kaum non Muslim, dan lebih dari itu
Islam hendak menjaga hak-hak setiap muslim serta menjaga juga perasaannya dari
bahaya lisan saudaranya. Islam pun ingin mengajarkan kepada kita agar
senantiasa berkata baik, karena dibalik perkataan yang baik itu ada pahala yang
amat besar.
Hadits lainnya terkait bahaya
lisan adalah ancaman yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw kepada sahabat
Mu’adz dalam hadits yang cuku panjang, tapi aku ambil intisarinya yang
dibutuhkan pada tulisan ini, arti dari potongan hadits tersebut “dan apalagi
yang menyebabkan manusia dicampakkan wajahnya atau hidungnya kedalam neraka
kalaulah bukan karena perkataan mereka (hasil lisan mereka). Karena sangat
sensitifnya masalah lisan ini sampai-sampai ada ancaman seperti itu bagi mereka
yang tidak dapat menajaga lisannya.
Termasuk dalam bahaya lisan
adalah menggunjing orang lain, membuka aib orang lain, menyebarkan berita bohong
(gossip), dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat membatalkan amalan kita dan
membuat kita bersemayam dalam api neraka.
Sebagaimana kisah dua wanita pada
masa Nabi, ketika itu bulan Ramadhan, tentunya panas jazirah arabiya bertambah
disaat Ramadhan. Dalam keadaan panas seperti itu berat rasanya melanjutkan
puasa, disaat itu datanglah dua wanita kepada Rasulullah dan mengadu jika
mereka tidak sanggup meneruskan puasa mereka dan untuk membatalkan puasa mereka
diminta oleh Rasulullah Saw untuk memuntahkan isi perut mereka supaya
mendapatkan alasan berbuka, dan sungguh menjijikan apa yang mereka muntahkan,
yaitu daging-daging busuk manusia, bukan karena mereka memakan manusia ketika
sahur tapi karena mereka menggujing saudara mereka alias menggosipkan orang lain.
Yang demikian itu sia-sia amal ibadahnya, sekalipun ia sering sholat malam,
memberikan sedekah, berpuasa disiang hari, penyebab kesia-siaan itu adalah
karena tidak dapat menjaga lisannya.
Bahaya lisan memang senantiasa
mengintai, jika kita tidak mengendalikan lisan ini maka lisanlah yang akan
mengendalikan kita dengan nafsu untuk berbicara apapun yang dia mau. Kesucian
diri dan hati dapat dimulai dari sucinya lisan.